Klenteng Gie Yong Bio dan Pusat Batik Lasem
Pada abad ke-14 dan 15, Lasem merupakan salah satu tempat berkembangnya imigram asal Tiongkok selain Semarang dan Surabaya. Laksamana Cheng Ho, sebagai perwakilan dari Dinasti Ming menjadi salah satu perwakilan politik dengan Kerajaan Majapahit. Di Sungai Babagan Lasem, seluruh transaksi perdagangan dilakukan, lambat laut bermukimlah penduduk imigram asalah Tiongkok dan membangunan rumah pecinan dan tempat peribadahan seperti klenteng.
Klenteng yang masih berdiri di Lasem adalah Gie Yong Bio, Cu An Kiong dan Po An Bo. Di Gie Yong Bio adalah klenteng Istimewa yang dibangun untuk menghormati pahlawan Lasem yaitu Tan Kee Wie, Oey Ing Kiat dan Raden Panji Margono. Klenteng ini berdiri pada tahun 1780 setelah perang melawan VOC pada tahun 1742 dan 1750. Ketiga pahlawan ini secara bersama-sama melawan VOC dan mengangkat sumpah sebagai saudara angkat.
Raden Panji mungkin adalah satu-satunya Kongco pribumi. Kongco merupakan sebutan kakek buyut dan memiliki altar penyembahan di klenteng ini. Selain di Gie Yong Bio, Raden Panji memiliki altar pada klenteng Cu An Kiong.
Memasuki pintu gerbang yang didominasi warna khas merah, saya terkagum dengan tembok keramik yang dipenuhi dengan gambar-gambar. Gambar ini hampir semunya ditulis dengan aksara kanji bahasa Mandarin. Sedangkan gambar memperlihatkan adegan-adegan dari dewa-dewa yang dipuja. Meski altar atau tempat pemujaan tak sebesar klenteng lainnya, namun halaman depan cukup besar ditambah dengan altar bagian samping.
Gie Yong Bio terletak di gerbang pintu masuk Desa Babagan, populer sebagai kampung Batik. Tak lengkap rasanya, jika tak melihat batik Lasem lebih dekat. Belum lama kaki ini melangkah, tembok besar dengan pintu besar dengan arsitektur abad 15 masih kokoh dan indah.
Hanya cat dan tembok luar saja yang terkelupas membuka lapisan bata merah menambah keunikan bangunan ini. Kami sengaja berlama-lama di jalan hanya untuk mengabadikan rumah-rumah yang tampak sepi dan hanya beberapa sepeda motor lalu lalang. Kadang-kadang ada juga sepeda yang wara-wari dengan orang yang berjalan beriringan. Namun, sayang kami harus buru-buru menuju salah satu rumah batik di ujung jalan berliku ini.
Corak batik Lasem sangat dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Masyarakat Tionghoa sangat mempercayai bahwa hewan dan tumbuhan merupakan pembawa keberkahan dalam kehidupan. Sebut saja burung Hong dan Naga yang banyak digunakan sebagai simbol keberuntungan. Lasem pun memiliki ciri khas dalam motifnya. Motif Sekar Jagad, Latohan dan Watu Pecah, ketiga motif inilah yang dikembangkan sebagai ciri khas Lasem.
Motif Latohan berasal dari buah tanaman yang hidup ditepi laut. Lasem terkenal sebagai pesisir pantai utara sehingga tumbuhan ini sangat sering dijumpai. Sedangkan Sekar Jagad berasal dari kumpulan motif bunga yang berserak. Lain Latohan ataupun Sekar Jagad yang berasal dari tumbuhan, motif Watu Pecah berasal dari peristiwa pembangunan jalan Daendels, yaitu pada saat masyarakat diminta memecah batu besar menjadi kecil-kecil.
Rumah batik yang kami kunjungi nampak sepi, hanya terdapat seorang bapak dan seorang anak yang sedang bermain. Dengan ramah, bapak tersebut mempersilahkan kami masuk.
“Kebetulan yang sedang membatik libur hari ini,” Ujar Bapak tersebut dari luar.
Di dalam terdapat beberapa orang yang tengah memilah-milah batik. Kami berdua langsung nimbrung dan duduk. Kami larut dalam cerita sambil melihat beberapa motif batik. Sebetulnya kami ingin berlama-lama, namun waktu kami hanya sampai sore dan harus kembali ke Semarang.
Sebelum pamit, kami menanyakan Makam Han Wee Sing yang terkenal itu. Kami hanya mendapatkan sedikit penjelasan tentang jalan yang kami lalui. Petunjuk arah menuntun kami ke arah yang benar. Dan pada ujung beberapa belokan kami pun sempat bertanya, dan sampailah pada makam Han.
Misteri Makam Han Wee Sing
Di kala terik matahari tepat berada diatas kepala, kami melanjutkan pencarian terhadap salah satu makam yang melegenda. Legenda kutukan kepada Marga atau pemiliki nama Han, bagi laki-laki yang berbisnis, maka akan bangkrut, bagi perempuan tidak akan memiliki keturunan. Mitos ini sampai saat ini masih dipercayai, bahkan pemilik marga Han tidak akan melintas atau bepergian baik jalur darat ataupun udara melalui Lasem.
Menurut Legenda, Han Wee Sing adalah saudagar kaya raya dan memiliki dua putra. Han Wee Sing terkenal karena sifatnya yang baik hati dan suka berbagi, bertolak belakang dengan kedua putranya yaitu Han Te Su dan Han Te Ngo. Keduanya suka menghamburkan uang dan berjudi. Kekayaan Han Wee Sing berangsur berkurang sehingga jatuh miskin.
Pada saat kematian Han Wee Sing pun harus menderita, karena uang hasil sumbangan kematiannya pun digunakan kedua putranya untuk berjudi. Akhirnya jenazah Han Wee Sing pun dimakamkan dengan hanya membungkusnya dengan kain. Tak sampai ke pemakaman, kemudian terjadi mendung dan hujan badai. Setelah hujan, ditempat jenazah Han Wee Sing pun kemudian membentuk sebuah makam. Tak lama kemudian, dari makam terdengar suara kutukan keluarga Han tidak boleh tinggal dan Menetap di Lasem.
Begitulah legenda ini mengusik saya untuk mampir ke Makam dan sekedar melihat dari dekat. Ternyata jalan yang ditempuh tak semulus yang dibayangkan. Kami harus menyusuri kebun milik warga setelah pemakaman yang berada di depan sebelum kebun. Makam Han Wee Sing ternyata sangat tersembunyi. Di tutupi pohon jati yang masih muda dan dipagari oleh bambu. Kami masuk dan melihat lebih dekat makam yang tampak terawat dengan bong, batu nisan berwarna putih serta diukir huruf Mandarin bertuliskan nama Marga Han.
Bulu kudu saya sedikit merinding padahal waktu itu masih siang bolong. Tak berapa lama, saya dan teman saling berpandang dan berbalik badan segera keluar dari Makam Han yang penuh dengan kutukan.
Rumah Candu dan Klenteng Cu An Kiong
Kami menyusuri jalan raya berukuran bernama Dasun, Desa Soditan. Tujuan kami adalah Rumah Candu, atau nama lainya adalah Opium. Cuaca mendung ketika kami sampai pada pintu gerbang berwarna jingga dan diatas bertuliskan Lawang Ombo. Kami sempat melihat ke kanan dan ke kiri dan melihat ke dalam, namun tak satupun orang terlihat.
Tak patah arang, kami berjalan ke pintu lainnya yang tak jauh dari pintu gerbang. Pintu berwarna kuning dan lebih kecil dari pintu sebelumnya. Kami mengetuk beberapa kali, namun tetap tak ada jawaban. Kami kembali lagi ke pintu utama, sambil melihat-lihat siapa tahu ada orang setelah kami ketuk. Dan hasilnya nihil, hanya suara sahutan anjing penjaga saja yang menyambut kami kemudian.
Dahulu Candu atau Opium sangat terkenal pada abad 19. Candu ditukar dengan senjata api dan digunakan sebagai salah satu alat melawan penjajah. Karena takut terlihat atau tertangkap Belanda pada waktu itu, Lawang Ombo inilah yang dijadikan sebagai lalu lintas Opium. Di dalam rumah, terdapat sebuah lubang berukuran tak lebih dari 3 meter dan berhubungan langsung dengan sungai menuju ke laut.
Lubang tersebut masih ada namun telah mengalami penyempitan ataau ditutupu sehingga hanya berdiameter 1 meter saja. Menurut sumber, pemilik rumah ini adalah Liem Kim Slok, seorang syahbandar yang melakukan perdagangan atau penyelundupan Opium terhdap kapal-kapal yang berlabuh di Lasem.
Berdekatan dengan Lawang Ombo, terdapat sebuah klenteng tertua yang dibangun pada tahun 1335 dan direnovasi pada tahun 1838, bernama Klenteng Cu An Kiong. Bisa dikatakan Klenteng ini adalah terbesar diantara ketiga klenteng yang ada di Lasem.
Pada abad 15, Masyarakat Tionghoa datang dan membabat hutan Jati untuk dijadikan rumah dan rumah peribadahan termasuk Klenteng. Cu An Kiong dahulunya dibangun mengunakan kayu jati sebagai tiang penyanganya. Sampai saat ini kedua tiang penyanga masih mengunakan kayu jati dan belum pernah diganti sampai sekarang.
Ukiran-ukiran dalam Klenteng merupakan hasil karya dari ahli ukir yang didatangkan langsung dari Guangdong, Tiongkok. Tak lama setelah menyelesaikan ukirannya, ahli ukir tersebut menetap di Kabupaten Kudus dan mengajarkan seni ukir.
Aliran sungai di Lasem yang bermuara ke Laut menyebabkan perkembangan pesat. Salah satu sumber menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho pernah mendarat di depan Klenteng dan berinteraksi dengan warga dan melakukan perdagangan serta alih teknologi seperti pertanian dan peternakan.
Lasem memiliki ratusan situs heritage atau kota tua yang wajib dijaga oleh kita bersama. Memasuki Lasem, sama seperti menikmati Tiongkok dalam versi lebih mini. Menginjakan kaki di Lasem seperti memasuki peradaban masa lalu yang masih terjaga. Tak hanya instagramable namun sangat menarik menyimak cerita sejarah yang menyatu didalamnya.
Lasem, saya akan kembali lagi, itu janji saya.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah ”
Kangen Lasem. Pengen datang lagi kalau ada waktu 🙂
Seru yaa, rencana mau kesini dengan Tari tengah November nii..
Iya Mba Evi, Lasem penuh misteri dan kakayaan yang tersembunyi hehehe 😀
Harus banget Mba ke Lasem, kurang lebih 3 jam dari Semaraang kok hehehe.
Batik Lasem ini cakep-cakep yaaah, sayang banget kemaren gak jadi beli garagara gak tau kisaran harganya huhu T.T
Sepi banget lasemnya. Tapi jadi tahu ada budaya tiongkok di jateng yaa
Hehehe iya nanti kayaknya harus kesini lagi yak, dan bawa orang Lasemnya biar bisa nawar2 hehehe
Iya jadi tahu banget kok 😀
Aku sering nulis tentang batik Lasem, Man, tapi malah belum pernah ke Lasem. Pengen ke sana suatu saat nanti 😀
Belum pernah masuk ke lenteng, sesekali pengen juga menengok ke dalam. Btw baru tau, ternyata ada juga ya corak batik yang terpengaruh oleh budaya Tionghoa 🙂
Baru tahu kalau batik lasem itu dipengaruhi oleh budaya tionghoa.
Keren banget man…tambah pengetahuan. Apalagi didukung foto ciamik. Makin betah bacanya.
Lasem ini pernah membara tahun 2009 an, banyak trip kesana dan aku gagal kesana ihik ihik. Ternyata instagram able banget yaaa
Bagus ni, menunjukkan keragaman budaya di indonesia
Saya sering lewat sini, tapi blm pernah masuk atau berkunjung.. hehe
Senang deh kalo bisa mengenal ragam budaya di Indonesia. Semoga next ada kesempatan ke Lasem 😉
teringat masa kecil sering lewat daerah lasem sewaktu perjalanan semarang – surabaya 😉
komplit banget infonya..thank ya 🙂
Memang dari sejarahnya juga orang-orang Tiongkok memang sangat berpengaruh terhadap budaya Indonesia ya, tapi kenapa masih banyak orang yang tak mengakui kalo mereka yang sudah turun temurun hidup di negeri ini bukan sesama sebangsa Indonesia. Padahal kalo ngga ada mereka dalam sejarah kita, Indonesia mungkin ngga akan semaju sekarang.
Indonesia memang kaya akan budaya, mumpung lagi di Madiun, kira-kira berapa jam perjalan yaa kesana?
Kira2 sekitar 4-6 Jam dari Madiun
Harus ke Lasem Mba haruuus
Sebagian besar batik terpengaruh budaya tiongkok Mba, bahkan yang dari Cirebon juga loh
Wah makasih Lita hehehe, iya memang bnayak dipengaruhi budaya tiongkok loh
Banget Bang Cumi, harus kesana lagi loh Bang
Harus ke Lasem haruuus hehehe
Budaya Tiongkok salah satu yang mempengaruhi budaya kita, banyak budaya lain yang berakulturasi sehingga menjadi budaya yang kita kenal
Saya telah banyak membaca tentang lasem, tapi begitu ada kesempatan mengunjungunya, sepertinya saya aka pura2 amnesia untuk dapet feelnya 😀
ayooo bang ke Lasem lagi….aku meluu…
Wah ternyata selain semarang ada lasem yang banyak kelentengnnya, jawa tengah kaya thailand ya banyak kelentengnya