Hotel Indonesia Jawa Review

Omah Sinten Solo : Hotel (Nostalgia) Unik Bernuansa Jawa

Saya ingat betul sehari lalu ketika mengunjungi Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo, terdapat satu buah Keraton lagi yang wajib dikunjungi. Keraton Mangkunegaran, sebuah bangunan Istana yang megah perpaduan antara Jawa dan Eropa. Letaknya sebetulnya tak jauh dari Keraton Surakarta, namun karena saya kurang mengenal jalanan Solo, terpaksa saya urungkan niat tersebut. Barulah keesokan harinya saya berkunjung ke Istana yang dibangun pada tahun 1757 ini.
Tujuan Utama memang berkunjung ke Keraton Mangkunegaran, namun saya memenuhi janji terlebih dahulu bertemu Mba Lea, pihak manajemen Hotel bernuansa Jawa tepat di depan Keraton. Sungguh suatu kebetulan yang tak diduga-duga. Apabila sedang berbelanja di Pasar Antik Triwindu, jalanlah cukup dua menit, rumah joglo dengan daun-daun yang sejuk itu pasti cukup mudah ditemukan. Sama halnya ketika melintas disepanjang Pasar Malam Ngarsopuro, lampu-lampu khas berwarna kuning kemerahan yang menghias tulisan Omah Sinten dengan mudah ditemukan pada ujung jalan.

Setelah duduk di mini lobi sebelum ke kamar, sebuah sajian minuman telah tersedia. Sambil menunggu administrasi, saya meneguk beras kencur pelan-pelan. Ramuan tradisional yang terbuat dari bahan alami dengan salah satu khasiat menghilangkan pegal dan capek-capek. Tak terasa gelas yang tadinya penuh kini telah bersih dan tak tersisa. 
  
Salah seorang staf memandu saya menuju lantai atas, lantai 3. Pelan-pelang langkah saya terhenti pada sebuah relief sebuah Candi. Tidak jelas reflief candi mana, namun relief tersebut mengambarkan dewa Ganesha dan para prajurit. Di sudut terdapat sepasang pria dan wanita dengan pakaian tradisional jawa. Beralih ke lantai 3, di dinding terdapat koleksi perangko kuno yang langka dan setrika arang yang sudah jarang digunakan saat ini.

Sebelum menuju lantai 3, sebetulnya saya tertarik dengan interior atap yang mengabungkan beragam motif batik dengan ornamen kayu sebagai penyangga atap. Sedangkan anak tangga yang saya lewati dibatasi oleh ukiran logam dengan motif khas jawa. Saat menapaki anak tangga terakhir sebelum menuju ke kamar, saya terpukau dengan pemandangan hijau dan dari jauh kelihatan Keraton Mangkunegaran.

Memasuki kamar yang berjumlah kurang lebih 10 ini bagaikan kembali ke masa lalu. Semacam nostalgia rumah joglo yang dahulu pernah saya tinggali. Seluruh ornamen didominasi dengan kayu dan hampir semuanya merupakan Jati asli. Motif batik khas Solo pun tergambar pada tenpat tidur, atap kamar, gorden dan dinding. Benar-benar nosatalgia.

Backpack hitam kemudian saya taruh pada tempat di sudut kamar dekat pintu kamar mandi. Saya hampir lupa kalau Keraton Mangkunegaran akan tutup sekitar jam setengah 3, saya bergegas membersihkan muka, memakai sepatu dan membawa kamera serta perlengkapan lain. Kini saatnya mengenal lebih jauh sejarah Solo.

Hidangan Para Raja Solo 

Sesuai janji, saya akan menemui Mba Lea siang itu. Cuaca Solo masih belum menentu kadang panas dengan matahari namun kadang awan-awan hitam pun tergambar di langit. Untunglah saya tidak merasakan kepanasan yang berlebih ketika tiba di pendopo. Pendopo di tengah ini difungsikan sebagai Restoran.

Mba Lea menyapa saya tak lama setelah saya duduk. Senyum simpul tergambar di wajah perempuan berusia lebih tua dari saya. Mba Lea sebetulnya tinggal di Yogyakarta dan mengunakan kereta api setiap harinya. Wah, luar biasa perjuangan Mba Lea untuk bolak-balik Solo-Yogakarta setiap hari.

Nasi Golong kemudian terhidang dengan lengkap. Rempeyek udang menjulang tinggi ditambah dengan urap sayuran ditambah dengan lauk lain seperti ayam, telur dan tahu. Konon hidangan ini merupakan kesukaan dari KGPPA Mangkunegoro I, tersohor dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Pada masa peperangan melawan penjajah sekitar tahun 1740-1756, Beliau selalu disajikan hidangan Nasi Golong. Dua butir kepalan Nasi membuat semangat para prajurit, selain itu kepalan nasi juga menimbulkan persatuan melawan penjajah.

Selain dua butir kepalan nasi, tersaji juga sayur oyong atau sayur gambas. Dengan kuah bening serta irisan bawang putih membuat rasanya segar. Saya termasuk penyuka sayur bening seperti sayur oyong dan sayur sop ayam, jadi sajian ini sederhana namun sangat luar biasa rasanya. Nasi dengan dua porsi pun tak terasa saya habiskan sekaligus dengan lauk-pauknya.

Sajian lain yang istimewa adalah Garang Asem Bumbung. KGPA Mangkunegoro VII sangat menyukainya. Ayam yang dimasak dengan santan, bumbu-bumbu rempah dan blimbing wuluh. Konon, Blimbing Wuluh yang digunakan untuk membuat sajian ini berasal dari tanaman blimbling yang berada di dalam Keraton Mangkunegaran. Blimbing Wuluh Putih, masyarakat menyebutnya demikan dengan keistimewaan rasanya yang lebih unik dari blimbing wuluh biasa.

Satu keistimewaan lain dari Garang Asem Bumbung ini adalah cara masak yang langsung memasukan masakan kedalam Bumbung, batang bambu,sehingga rasanya lebih khas dan penyajiannya sangat unik.

Nostalgia Di Tengah Kota Solo 

Setelah bertemu Mba Lea, beruntung saya berjumpa dengan Pak Slamet Raharjo. Beliau merupakan pengagas Festival Jenang pada tahun 2012. Saat itu Kota Solo masih dipimpin oleh Bapak Jokowi. Kami berjabat tangan dan kemudian berbincang. Kurang Waras, begitulah yang beliau sampaikan mengapa sampai sekarang masih tetap berpendirian untuk mengembangkan Omah Sinten. Pak Slamet memiliki bisnis utama lain disamping Omah Sinten. Melalui Hotel Heritage dan Resto ini beliau ingin memenuhi panggilan hati menjaga semua tradisi Jawa yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

Festival Jenang Solo 2012

Cita-cita membuat film dokumenter mengenai Solo mulai dari Keraton, Sejarah, Budaya dan lainnya membuat saya tergugah. Tujuan Utamanya hanya agar tradisi Jawa ini tetap terjaga sampai kapan pun. Bukan tanpa alasan beliau mengaungkan tradisi ini melainkan kekhawatiran beliau terhadap arus globalisasi yang terus mengerus kebangaan anak muda terhadap identitasnya. Mungkin terlaly berat untuk meramunya dalam otak saya, namun suatu saat pasti cita-cita mulia ini akan terwujud. Amin.

Mungkin perasaan ini bercampur inilah yang membuat saya kembali bernostalgia bahwa rumah yang nyaman bukanlah yang besar dan megah, namun sederhana dengan bentuk ornamen yang kental akan nuansa Jawa. Feels like home.

Galery, Cinema Dan De Krontjong 

Galery

Bale Mangun Cipto, sebuah ruang galeri yang dapat digunakan sebagai ruang meeting dengan kapasitas 60 orang. Keitka saya masuk, ornamen interior dengan ukiran-ukiran khas itu berada tepat diatas. Biasanya dalam membangun sebuah rumah diperlukan kayu jati baru untuk membuat kerangkanya, namun ternyata kayu jati ini bukanlah kayu jati dari hasil penebangan melainkan membeli langsung dari pemilik asalnya. Wow, sangat go green sekali.

Cinema 

Bale Subawiyata, sebuah ruang pertunjukan sekaligus ruang menonton film budaya. Beberapa komunitas pernah bersama-sama menikmati film budaya tentang solo dan berdiskusi. Selain komunitas, ruangan ini pernah digunakan perusahaan dan sineas seperti Garin Nugroho.

Menyambung cita-cita Pak Slamet, saya rasa wajar apabila beliau ingin mengabadikan sejarah dan budaya Solo dalam bentuk film, karena diruangan ini, beliau ingin menepuk dada dan dengan semangat menyatakan bahwa inilah Soloku dengan adat budaya jawa yang kental dan tak akan lekang dimakan rodan zaman.

De Kerontjong 

Ketika meneguk sebuah teh apa yang terpikirkan oleh kamu? Iya aroma daun teh yang harum serta manfaat teh yang sangat baik bagi tubuh. Namun, apabila merendam teh dan menyajikan dengan cara yang keliru apa yang terjadi pada rasa tehnya? Bisa dijamin bahwa aromanya tidak segar dan rasanya pun pahit. Pak Slamet membuka mata saya tentang teh. Tradisi dalam keluarga saya adalah menyajikan teh pada saat berkumpul. Panas, Kental dan Legi (‘Manis”). Menurut keluarga saya demikian teh yang enak.

“Teh yang enak bukanlah yang pekat, namun yang disedu sebentar saja dan warnanya kecokelatan,” Pak Slamet menjelaskan tentang penyajian teh yang baik dan benar.

Jadi selama ini, teh yang beredar dimasyakarat adalah teh dengan kualitas bukan terbaik. Teh yang terbaik justru dinikmati oleh negara lain di belahan bumi yang berbeda. Raut muka saya sedikit mengernyit. Sayang sekali saya dan keluarga bukan menikmati teh kualitas terbaik tersebut.

De Kerontjong hadir untuk mengembalikan tradisi minum teh dengan kualitas terbaik sambil menonton pertunjukan keroncong yang kini mulai tergerus oleh musik populer. Pak Slamet sadar kalau bukan beliau yang memulai mendokumentasikan tradisi dan budaya sendiri, siapa lagi yang akan rela meluangkan waktunya. Kalau bukan kita siapa lagi.

Haritage Deluxe

Aktivitas seharian telah selesai. Saya memandang langit-langit kamar Haritage Deluxe. Nampak corak batik khas Solo dominan dengan warna putih, cokelat, merah dan abu-abu. Nampak indah sekali berada di atas sana. Setelah menikmati Garang Asem Bumbung, saya jalan-jalan sebentar di lingkungan sekitar Omah Sinten.

Dua bantal besar, dua bantal kecil dengan dua guling yang tersusun rapi membuat ingin segera tidur saja. Namun seperti channel TV kabel yang tersedia menggugah saya agar tetap menonton. Tak lama setelah menonton, tengorokan saya terasa gatal dan haus. Untung saja tersedia dua buah botol air minum kemasan. Disamping itu terdapat kulkas mini untuk mendinginkan minuman kalau tidak suka yang hangat.

Sebelum tidur, saya sempatkan untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Oh iya, sebelum menikmati sajian malam tadi, saya sudah sempat mandi dibawah shower hangat. Jadi tidakperlu untuk mengulang mandi. Jika lupa tak membawa peralatan mandi, jangan khawatir karena tersedia peralatan mandi yang cukup komplit.

Berburu Sunrise

Tidak terpikir untuk bangun lebih pagi dari biasanya untuk mengerjar sunrise di Omah Sinten. Namun pagi itu sepertinya alam membangunkan saya pukul 5 lebih. Kepala masih berisi mimpi ketika melihat matahari perlahan-lahan muncul dari balik gunung.

Melihat matahari yang masih malu-malu, saya kembali ke kamar mengambil kamera dan langsung mengambil beberapa gambar. Udara masih begitu segar ketika sebagian kecil warga mulai beraktivitas. Ah, luar biasa pagi ini, pagi dengan sunrise seperti beberapa tahun lalu ketika di Gunung Bromo.

Setelah mandi, kemudian saya sarapan dengan menu omlete, kentang goreng serta roti. Saya pun bergegas karena takut tertinggal kereta menuju ke Malang. Solo, sampai jumpa lagi. Saya tidak akan melupakan semua kenangan ini. Saya akan kembali, tunggu aku ya.

Informasi Omah Sinten Heritage Hotel & Resto

Alamat 
Jalan Diponegoro 34/54 Ngarsopuro
Solo, Jawa Tengah

Telepon 
+62271 – 641160

Email 
info@omahsinten.net

Website 
www.omahsinten.net 

Social Media
Fan Page Facebook : Omah Sinten
Twitter : @omahsinten

Maps 

Anda mungkin juga suka...

5 Komentar

  1. Aku suka ini. Sebagai keturunan Jawa yg merauntau ke Sumatera.. I think this hotel is best for me and my family.. very nostalgic.

  2. Jawaaaa bangettt. Kulonuwuunnn…
    cuma kalau model gini rada spooky gak?

  3. Atmosfer Jawa yang menenangkan dapat banget di Omah Sinten ini. Nanti kalau ke Solo mau juga ke sini ah 😂

  4. keren banget, hotelnya unik dan sangat menarik..

  5. artikel yang bermanfaat, terimakasih informasinya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *