Sebetulnya malam ini malam terakhir di Kuching. Namun, saya tidak mau berakhir begitu saja tanpa merasakan suasana Siniawan. Julukan Kota Tua atau Old Town yang melekat membuat saya terpikat. Menurut banyak orang yang telah bertandang ke sana, Siniawan sangat mempesona. Kesan oriental memang sangat terasa, karena lampion bertebaran di setiap sudut sehingga mempercantik malam di Siniawan.
Perjalanan dari Kota Kuching ditempuh sekitar kurang lebih satu jam. Datanglah pada saat Weekend karena Siniawan memang hanya buka pada saat Jumat, Sabtu dan Minggu. Sebelum sampai, saya sebetulnya membayangkan seperti apakah Siniawan tersebut, karena memang saya tidak mencari informasi apapun dari Mbah google. Setelah siang hari beradu panas dan jalan-jalan mengelilingi Bako National Park, sore ini kami diajak Aunty Ana, guide kami, mengunjungi Siniawan.
Sesampai di Siniawan, awan pun masih putih disertai matahari yang enggan muncul karena tertutup awan. Cuaca memang agak gerimis dan mendung. Namun, kami tetap mengunjungi tempat terbuka ini. Layaknya pasar malam, memang sepanjang jalan disediakan meja dan kursi untuk menikmati setiap kuliner yang dijajakan.
Sebagian besar bangunan terbuat dari kayu. Entah berapa usia kayu yang kami lihat, namun yang pasti Siniawan merupakan Kota Tua yang didirikan oleh saudagar asal Tiongkok yang melarikan diri dari kejaran James Brooke pada tahun 1921. Jadi bisa jadi usia kayu yang masih terlihat kuat tersebut hampir mendekati 100 tahun.
Mata saya tertuju pada bambu-bambu yang dibakar. Di dalam bambu biasanya berisi beras ketan atau beras lainnya. Saya mengenal makanan ini di Pontianak dengan nama Nasi Lemang. Mungkin karena masih satu pulau dan satu tradisi, nasi ini pun masih bisa kita jumpai di Siniawan.
Segala jenis makanan tersedia disini. Mulai dari rasa lokal sampai internasional seperti Jepang dan India. Harga makanan pun terbilang sama dengan Indonesia sekitar 5-20 Ringgit tergantung porsi dan jenis makanan yang dibeli. Kalau dikurskan ke Indonesia, harga makananya berkisar dibawah 100 ribu rupiah. So, masih masuk di budget apabila makan di pasar malam ini.
Takoyaki pun menjadi jajanan yang patut di coba disini. Antrian untuk mencoba takoyaki pun jadi tantangan tersendiri, karena ternyata banyak juga yang mencoba makanan asal Jepang yang telah mendunia. Saya sebetulnya pengen mencoba, namun karena teman-teman sudah memanggil untuk berburu makanan lain. Akhirnya saya harus gigit jari.
Beruntung di ujung jalan, kami menemukan makanan yang lumayan untuk menganjal perut kami yang agak kelaparan. Coba tebak makanan apa ini?
Di dalam bungkusan kantung semar terdapat ketan dicampur dengan kacang merah. Namanya Cong Thien Ang, cukup khas di Borneo karena di Singkawang dan Pontianak pun terdapat jajanan seperti ini. Setelah digigit campuran antara ketan dan kacang merah sangat terasa namun belum cukup membuat perut saya terisi secara penuh.
Kami pun kembali berkeliling mencari makanan apa yang cocok bagi kami. Saya sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan makanan apa, namun memang karena kami harus mencari makanan halal. So, sebagian kami harus ekstra hati-hati dengan makanan yang mengandung babi. Untungnya beberapa restoran memang menyajikan makanan halal seperti sate ayam dan kambing serta ikan.
Hujan rupanya turun juga. Kami yang tadinya duduk di luar pun segera berpindah tempat ke dalam sebuah restoran yang tutup. Sembari hujan kami menanti pesanan yaitu nasi lemak, sate ayam, sate kambing dan ikan masak. Saya dan Ero memesan sate ayam dan kambing, sementara Mba Evi dan Indra memesan ikan masak serta cah kangkung. Sementrara sisanya memesan nasi lemak.
Yes, pesanan kami pun tiba. Tidak perlu menunggu lama, kemudian saya melahapnya dengan penuh nafsu karena perut telah lama merontak-ronta. Hanya 10 menit kemudian, lontong pun telah raib sementara satenya masih tersisa. Saya dan Ero kemudian menambah lontong untuk menghabiskan sate yang masih tersisa.
Sebetulnya kalau kami tidak memberikan informasi sedikitpun tentang tempat ini, maka tidak akan pernah menyangka bahwa ini Siniawan. Orang-orang pasti mengira ini adalah Hongkong atau Macau. Benar-benar sangat terasa sekali orientalnya karena lampion. Makin malam, lampu-lampu lampion yang berwarna merah pun makin cantik. Apalagi dengan berhias langit yang telah hujan dan segera berganti menjadi langit terang, semakin menambah hasrat untuk berfoto-foto disini. Dan, hasilnya sangat kece loh, ini dia beberapa foto saya. Jangan ngiri ya.
Malam makin larut. Sudah saatnya kami pulang membawa kenangan yang tidak akan pernah dilupakan selama beberapa hari di Kuching. Terima kasih kepada Sarawak Tourism Board dan Air Asia yang telah mewujudkan destinasi yang menarik di Sawarak ini.