Biasanya setelah Imlek (Tahun Baru China), sekitar 15 hari setelahnya terdapat perayaan lain yang disebut Cap Go Meh. Singkawang, Kalimantan Barat, merupakan salah satu tempat spesial yang merayakan Cap Go Meh dengan meriah. Sayang, tahun ini tidak kesampaian ke Singkawang namun bisa merasakan momennya di Jakarta. Selain Petak Sembilan, ternyata banyak sekali tempat wisata bernuansa imlek yang anti mainstream dan biasanya sangat tersembuyi. Makanya setiap tahun biasanya saya menyempatkan diri untuk menjelajah tempat-tempat tersebut. Oh iya, selain kawasan glodok, kita bisa mampir juga ke Kota Tua, pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari dan kawasan lainnya yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Bagi saya, merasakan nuansa imlek itu sungguh mengangumkan. Dari kecil saya hanya melihat masjid dan gereja saja, jarang sekali mendapati vihara atau klenteng. Di Jakartalah, saya mulai mengenal tempat-tempat unik seperti Petak Sembilan. Kata orang, saya lebih tertarik dengan klenteng dibandingkan dengan masjid. Mungkin karena telat terbiasa ke masjid, saya sudah tidak penasaran dengan bentuk atau ornamennya, kecuali masjid dengan arsitektur yang sangat unik. Saya tidak menolak jika dijuluki “Pemburu Klenteng”.
“Man, mau kemana hari ini?”
Saya ditanya Halim, waktu itu saya berada di Solo.
“Aku mau jajan di pasar sekalian cari klenteng.”
“Kebetulan banget di depan pasar ada klenteng pertama di Solo.”
“Oke, kita janjian di klenteng itu ya.”
Jadi bukan hanya satu atau dua kali saja saya selalu menyempatkan diri untuk ke klenteng, selain masjid tentunya, bahkan setiap ke kota-kota lainnya klenteng adalah hal wajib saya kunjungi. Rasa penasaran saya itu seakan bertambah ketika menemukan sebuah klenteng yang biasanya tak jauh dari sebuah pasar. Konon katanya, pasar dan klenteng itu sudah seperti alun-alun dan masjid, selalu berdampingan dan menjadi sebuah simbol karena rata-rata pedagang itu berasal dari Tionghoa.
Selain Petak Sembilan, ternyata banyak tempat bernuansa imlek yang jarang atau bahkan sama sekali di dengar oleh masyarakat Jakarta. Yup, sebut saja Candra Naya, Gereja Santa Maria de Fatima dan Vihara Dharma Jaya Toasebio.
Candra Naya
Rumah yang disebut Candra Naya tersebut adalah rumah terakhir Mayor China di Batavia. Zaman Hindia Belanda dulu, diangkat seseorang untuk mewakili etnisnya.
Ialah Mayor Khouw Kim An yang lahir di Batavia 5 Juni 1879. Kariernya termasuk cemerlang di pemerintahan Batavia. Pada 1905 diangkat menjadi Leutenant, 1908 dipromosikan menjadi Kapitan, dan 1910 naik pangkat lagi menjadi Mayor.
Rumah ini memang terletak diantara gedung tinggi di kawasan jalan Gajah Mada di Jakarta, sehingga tidak banyak yang tahu bahwa disinilah sejarah penting pernah terjadi dan menjadi saksi bisu banyak peristiwa pada masa Batavia.
Gereja Santa Maria de Fatima
Gereja Santa Maria de Fatima adalah sebuah Gereja Katolik di Jakarta. Gedung ini dibangun dengan arsitektur Tionghoa. Setelah adanya tugas pelayanan dan pewartaan dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ kepada Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ, maka didirikanlah gereja, sekolah, dan asrama bagi orang-orang Hoakiau (Cina Perantau). Sebagai awal, dipilihlah Pater Antonius Loew SJ dari Austria sebagai kepala paroki dan Pater Leitenbauer sebagai pengelola sekolah yang pertama. Sekolah itu dinamakan Sekolah Ricci, berasal dari nama imam missionaries Yesuit, Matteo Ricci.
Usaha Pater Leitenbauer, yang dibantu oleh Pater Braunmandl, Pater Loew, dan Pater Tcheng, berjalan dengan lancar, dan mereka juga membuka kursus bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin, yang dikenal dengan sebutan Ricci Evening School, dan asrama yang dikelola oleh Pater Tcheng diberi nama Ricci Youth Center.
Kemudian tahun 1953 dibelilah sebidang tanah seluas 1 hektare, untuk digunakan sebagai kompleks gereja dan sekolah, dari seorang kapitan (lurah keturunan Tionghoa pada Zaman Penjajahan Belanda) bermarga Tjioe, dan pada tahun 1954, tanah dan bangunan itu resmi menjadi milik Gereja. Di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan utama dengan 2 bangunan mengapit bangunan utama, yang memiliki 2 buah patung singa yang merupakan lambang kemegahan bangsawan Cina.
Vihara Dharma Jaya Toasebio
Kelenteng Toasebio adalah salah satu dari klenteng tua yang masih berdiri di Jakarta. Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah kelenteng. Kelenteng yang dibangun di tahun 1755 ini menyembah dewa Qing Yuan Zhen Jun (Tjeng Gwan Tjeng Kun).
Kelenteng Toasebio sudah berdiri di tempatnya yang sekarang sejak semula didirikan pada sekitar menjelang pertengahan abad ke-18 oleh komunitas Tionghoa asal Kabupaten Tiothoa/Changtai di Keresidenan Ciangciu/Zhangzhou dan¯dengan sendirinya¯tidak pernah dipindahkan dari tempat lain.
Nama resmi kelenteng ini¯sebagaimana tertera pada papan nama di gerbang kelenteng¯adalah Hong-san Bio/Fengshan Miao (`Kelenteng Gunung Burung Hong’). Akan tetapi, karena Cheng-goan Cin-kun / Qingyuan Zhenjun, dewata pelindung masyarakat Kabupaten Tio-thoa/Changtai, juga dikenal sebagai Toa-sai Kong / Dashi Gong (`Paduka Duta Besar’), maka kelenteng ini juga dikenal sebagai kelenteng Toa-sai Bio/Dashi Miao (`Kelenteng Duta Besar’). Nama Toa-sai Bio di lidah penduduk lama-kelamaan berubah lafal menjadi Toa-se Bio dan menjadi nama jalan dimana kelenteng ini berada dan juga nama lingkungan sekitarnya. Nama Toasebio ini sampai sekarang masih dipakai, dari sinilah nama paroki di lingkungan ini, Paroki Toasebio.
Menginap Di Hotel Jalan Gajahmada, Jakarta
Setelah keliling Glodok dan sekitarnya, jika berasal dari luar kota, maka yang paling tepat untuk menginap adalah hotel di jalan Gajahmada. Hotel di Jakarta ini memang sangat unik karena sangat tinggi tingkat huniannya dan lokasinya sangat beragam hingga sangat dekat dengan obyek wisata. Jadi tak perlu khawatir dengan transportasi karena dengan jalan kaki pun bisa menjangkau tempat ini. Oh iya, selain itu bagi yang tidak memiliki budget tipis tapi mengharapkan hotel bintang 5,4, atau 3, bisa saja mendapatkan harga murah atau harga promo.
Bagaimana memesannya? Gampang sekali karena tinggal akses website/aplikasi pegipegi dan pesan sesuai dengan lokasi yang diinginkan misalnya Gajahmada, Jakarta. Kemudian pilih tanggal dan berapa lama akan tinggal. Setelah itu selesaikan transaksi, bayar dan hotel pun sudah siap ketika sampai di lokasi.
Wah, memang sangat mudah banget tinggal klik, pesan, bayar dan siap digunakan deh. Ngga perlu repot telpon dan email hotelnya segala macem ya.
[…] aja atau ke Osaka dan Kyoto aja dengan Backpacker style, pasti lebih hemat. Setelah bolak-balik Jakarta – Tokyo, Osaka dan Kyoto beberapa kali, saya menemukan cara untuk menghemat biaya terutama […]